Minggu, 01 Desember 2013

sejarah pangkajene

  asal muasal nama pangkajene

        Kata “Pangkajene” (Bahasa Makassar), berasal dari dua kata yang disatukan, yaitu “Pangka” yang berarti cabang dan “Je’ne” yang berarti air, dinamai demikian karena pada daerah yang dulunya merupakan wilayah kekuasaan Kerajaan Barasa itu, terdapat sungai yang bercabang, yang sekarang dinamai Sungai Pangkajene. Sampai saat ini belum didapatkan keterangan yang tegas, sejak kapan nama “Pangkajene” menggantikan nama yang popular sebelumnya, ‘Marana’. Menurut beberapa sumber, awalnya yang dikenal adalah Kampung Marana, dan sungai yang membelah kota Pangkajene sekarang ini dulunya bernama Sungai Marana.(Makkulau, 2008).
       Kampung Marana terletak di sebelah utara sungai tua, sekitar Lembaga Pemasyarakatan lama (sekarang dijadikan tempat Pos Polisi dan Sekretariat Pemuda Pancasila) melebar ke Terminal Kompak, jadi lipat dua kali lebarnya dibanding sungai yang ada sekarang, tepatnya berada di jantung kota Pangkajene sekarang, sedangkan kampung – kampung tua yang ada di sekitar pinggiran sungai sekarang dari timur sampai ke barat antara lain Kampung Sabila, Ujung LoE, Tumampua, Jagong, Purung – Purung, Toli – Toli dan Lomboka, sedangkan bagian utara sungai, yaitu dari Pabundukang, Bone – bone, Kajonga, Palampang, Binanga Polong, Bucinri sampai ke Padede dan Kampung Solo.(M Taliu, 1997 dalam Makkulau, 2008). Jika kita menelusuri asal muasal pemberian nama – nama kampung yang telah disebutkan di atas---menurut beberapa sumber penulis---hal itu berkaitan erat dengan perebutan hegemoni kekuasaan antara Gowa dan Bone di bekas wilayah Kerajaan Siang dan Barasa (disebut Bundu Pammanakang). Kampung yang disebut Pabundukang itu awalnya adalah sebuah padang yang cukup luas, dimana menjadi tempat pertempuran antara laskar Bone dan Gowa, sedangkan Kampung Sabila diambilkan dari nama bangsawan Bone yang bertempur dan tewas di tempat itu, yaitu Arung Sabila. Begitu pula Kampung Bone-bone, yang pernah dihuni oleh mayoritas orang Bone. (M Taliu, 1997 dalam Makkulau, 2008).
      Kampung Tumampua (sekarang Kelurahan Tumampua) awalnya adalah kampung yang dihuni mayoritas orang – orang Bone berdarah Siang dengan menggunakan Bahasa Bugis, sedangkan Kampung Jagong (sekarang Kelurahan Jagong) dihuni oleh masyoritas orang – orang Gowa yang menuturkan Bahasa Makassar. Masing – masing hidup berdampingan karena mendapat suaka politik dari sejak masih adanya pengaruh Siang / Barasa sampai Gowa dan Bone silih berganti memperebutkannya untuk dijadikan palili / daerah taklukan, sedangkan Andi Syahrir (mantan Anggota DPRD Pangkep 1999 – 2004) mengurai bahwa Tu-mampua bermakna Orang mampu karena kampong tersebut didirikan oleh La Tenriaji To Senrima, Bangsawan Bone yang sangat kaya . (Makkulau, 2008).
Antara Kampung Solo dan Kampung Lomboka, sungai te1rsebut terbagi dua muaranya karena di depannya terdapat hutan bakau akibat aktifitas erosi, disekitarnya terdapat Kampung Polewali dan Lomboka. Pada percabangan sungai tersebut, dahulunya banyak digunakan sebagai tempat aktifitas perdagangan. Dimana saja ada muara sungai yang bercabang, biasa disebut “Appangkai Je’neka” maka daerah itu akan menjadi ramai. Sekarang tempat dimana terdapat (berdekatan) dengan percabangan sungai tersebut sudah sejak lama ramai karena dijadikan tempat pelelangan ikan. Penduduk setempatnya menyebutnya Lelonga. (M Taliu, 1997 dalam Makkulau, 2008).
Dahulu terdapat tiga sungai besar yang mengelilingi Kampung Marana yang menjadikannya tempat strategis transportasi karena berada di persimpangan sungai tua dari Paccelang, sungai tua dari Baru – baru dan sungai tua dari Siang (SengkaE). Ketiga sungai tersebut menjadikan Kampung Marana ramai karena berada di persimpangan cabang sungai (Bahasa Makassar : Pangkana Je’neka) dan di situ pula terjadi pertemuan dalam ikatan janji, baik dalam bentuk persahabatan, memperkuat jalinan kekerabatan maupun untuk kepentingan perdagangan. Pedagang yang akan memasarkan hasil bumi dan dagangannya biasanya mengadakan perjanjian dengan ucapan, “Anjorengpaki sicini ripangkana je’neka” (nanti kita bertemu di cabang air), yang dimaksudkan sesungguhnya tempat yang dituju adalah muara Sungai Marana (sekarang Sungai Pangkajene).(Makkulau, 2008).
Pengantar
      Siang dalam nomenklatur Portugis disebut Sciom atau Ciom. Nama “Siang” berasal dari kata “ kasiwiang” , yang berarti persembahan kepada raja (homage rendu a' un souverain) . (Pelras, 1977 : 253). Bekas pusat wilayah Kerajaan Siang, SengkaE – sekarang ini terletak di Desa Bori Appaka, KecamatanBungoro, Pangkep – telah dikunjungi oleh Kapal – kapal Portugis antara tahun 1542 dan 1548. (M Ali Fadhillah, 2000 dalam Makkulau, 2007).
Pelras mengemukakan bahwa selama masa pengaruh Luwu di semenanjung timur Sulawesi Selatan, kemungkinan dari Abad X hingga Abad XVI, terdapat kerajaan besar lain di semenanjung barat, dikenal dengan nama Siang, yang pertama kali muncul pada sumber Erofah dalam peta Portugis bertarikh 1540. Menurut catatan Portugis dari Abad 16, Tallo atau Kerajaan Tallo pernah ditaklukkan oleh Kerajaan Gowa danGowa sendiri mengakui Kerajaan Siang sebagai kerajaan yang “lebih besar” dan lebih kuat dari mereka. (Andaya, 2004).
Sumber Portugis menyebutkan Siang pernah diperintah seorang raja bernama Raja Kodingareng (Gadinaro, menurut dialek orang Portugis), sezaman dengan Don Alfonso, Raja Portugal I dan Paus Pascal II. (Pelras, 1985, A Zainal Abidin Farid : 1986 dalam Makkulau, 2007).

Silsilah raja – raja Siang setelah tampuk pemerintahan Siang dipegang Karaengta Allu adalah sebagai berikut :
(1) Karaeng Allu 
(2) Johor atau Johoro' (Mappasoro) Matinroe' ri Ponrok, yang bersama Arung Palakka ke Pariaman pada abad ke-17 ;
(3) Patolla Dg Malliongi ;
(4) Pasempa Dg Paraga ;
(5) Mangaweang Dg Sisurung ;
(6) Pacandak Dg Sirua (Karaeng Bonto – Bonto) ;
(7) Palambe Dg Pabali (Karaeng Tallanga) , sezaman dengan datangnya Belanda di Pangkajene ;
(8) Karaeng Kaluarrang dari Labakkang ;
(9) Ince Wangkang dari Malaka ;
(10) Sollerang Dg Malleja ;
(11) Andi Pappe Dg Massikki, berasal dari Soppeng ;
(12) Andi Papa Dg Masalle ;
(13) Andi Jayalangkara Dg Sitaba ;
(14) Andi Mauraga Dg Malliungang ;
(16) Andi Muri Dg Lulu. (Makkulau, 2005 ; 2007).
   Setiap ada upacara perayaan seperti pengangkatan raja baru, pergantian raja atau upacara kebesaran lainnya yang berhubungan dengan raja, maka diwajibkan hadir Anrong Appaka ri Siang, yaitu : (1) Daeng ri Sengkaya ; (2) Lo'moka ri Kajuara ; (3) Gallaranga ri Lesang ; (4) Gallaranga ri Baru-baru. Setelah empat orang bate-bate'a ini hadir, barulah pelantikan atau acara ‘Kalompoanga ri Siang' dapat dianggap sah. Selain keempat bate-bate'a ini juga diharapkan hadir Oppoka ri Pacce'lang. (Makkulau, 2005 ; 2007)
Secara sederhana, silsilah Raja – raja Siang saat dibawah dominasi Gowa ( A.Razak Dg Mile, PR : 1957 ) sebagai berikut :
(a) Raja – raja dari keturunan ‘Tumanurunga ri Bontang' diperistri oleh yang bergelar ‘Si Tujuh Lengan'. Tidak diketahui berapa generasi !
(b) Keturunan Karaengta Allu (Setelah Siang ditaklukkan oleh kerajaan Gowa), juga tidak diketahui berapa generasi.
(c) Keturunan I Johor atau Johoro' (Mappasoro'), sahabat Arung Palakka, dimana Arung Palakka menjadi Raja Bone sejak 
(d) Raja – raja yang berasal dari Kerajaan Siang sendiri, mulai dari keturunan Pattola Dg Malliongi (pada masa kompeni Belanda). (Makkulau, 2005 ; 2007) 

1 komentar:

  1. How much money do you need to bet on casino games? - Dr. MCD
    after a 부천 출장마사지 while, 고양 출장마사지 the first time I saw 군포 출장안마 a game with a progressive jackpot that 김포 출장마사지 I figured it would have 속초 출장마사지 paid me a very large amount.

    BalasHapus